Indonesia Sebagai Negara Hukum

            Indonesia merupakan negara hukum, hal tersebut dinyatakan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen.  Berdasarkan rechstaat sebagai landasan konseptual, itu menggambarkan bahwa Indonesia tanpa adanya konstitusi pun merupakan negara yang selalu berdasarkan hukum.  Ini pun menjadi keadaan yang faktual seperti cerita lama Van Vollen Hoven yang menunjukkan adanya 19 wilayah hukum (rechtskringen) di Indonesia.

Penegakkan Hukum Di Indonesia
         
Dari penjelasan di atas, pada dasarnya Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hukum.  Kata hukum disini seperti hal yang sudah tidak ada nilainya untuk rakyat menengah kebawah.   Oleh karenanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini hukum ibarat sebuah pisau yang sangat tajam jika digunakan ke bawah namun sangat tumpul jika digunakan ke atas.  Hukum di Indonesia saat ini dapat dikendalikan dengan mudahnya oleh orang-orang yang berkuasa.  Maksud orang-orang yang berkuasa disini adalah unsur politik.  Semuanya dapat dikendalikan, hal ini memicu terjadinya Negara kekuasaan sentralis (machstaat).

            Unsur politik merupakan unsur utama yang menjadikan hukum di Indonesia seperti Negara yang tidak mempunyai hukum.  Banyak masalah-masalah Negara yang ditimbulkan oleh unsur politik.  Bahkan  Ketua KPK pun mengakui salah satu masalah Negara yaitu  proses pemberantasan korupsi terhambat oleh politik(Republika, Rabu, 27 Juli 2001).  Kasus-kasus hukum saat ini cenderung  melibatkan organisasi politik dan jabatan.  Syafi’i ma’arif menyatakan  jika keadaan hukum saat ini tidak segera diatasi dan disembuhkan maka dalam jangka panjang akan mengakibatkan lumpuhnya penegakkan hukum di Indonesia.

            Hukum saat ini cenderung sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan para penguasa-penguasa Negara.  Pada masa kolonialisme, hukum dijadikan alat untuk menjajah warga pribumi. Pada masa Presiden Soekarno hukum dijadikan alat revolusi. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto hukum dijadikan alat pembangunan. Adapun pada masa reformasi sampai sekarang hukum dijadikan alat kekuasaan (politik). Hal ini yang menjadi salah satu faktor penyabab hancurnya penegakkan hukum di Indonesia.

Faktor-Faktor Hancurnya Sebuah Penegakkan Hukum

1.   Penegak hukum menegakkan hukum sesuai dengan hukum namun tidak mewujudkan keadilan.
Contoh : pencurian sandal jepit yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
2.   Penegak hukum menegakkan keadilan tanpa melandasinya dengan suatu hukum.
Hukum dan keadilan seharusnya berjalan seiringan. Penegak hukum perlu menegakkan hukum namun juga penting memperhatikan sisi keadilan. Demikian juga penegak hukum perlu menegakkan keadilan namun juga harus mendasarkannya pada suatu aturan hukum.

Ketidakadilan Dalam Hukum

            Dunia hukum saat ini mendapatkan sorotan tajam dari berbagai masyarakat dalam negeri maupun luar negeri.  Bagaimana tidak, selain tidak benar-benar dijalankan berdasarkan pancasila dan UUD, hukum Negara di Indonesia juga tidak seimbang.  Terlihat jelas bahwa kasus-kasus lebih memberatkan pada masyarakat kecil seperti contoh di atas yaitu kasus sandal jepit sedangkan para pejabat pemerintahan yang kasus-kasusnya bisa direkayasa dengan mengandalkan uang dan jabatan tinggi, sampai saat ini kasus tersebut masih belum selesai dengan tanggapan yang minim dari para penegak hukum pemerintahan Indonesia.  Hal tersebut membuktikan bahwa hukum di Indonesia tidak sesuai dengan hukum Negara yaitu sila kelima dalam pancasila yang bunyinya : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

            Contoh kasus yang membuktikan bahwa tidak adanya keadilan dalam hukum di Indonesia.    Di Indonesia kita bisa melihat seberapa mudahnya memutar-balikkan suatu kasus. Bagaimana suatu kasus kecil dapat menjadi besar, dan sebaliknya, kasus besar yang menghabiskan uang Negara bisa di buat menjadi lebih ringan atau dianggap sebagai kasus kecil. Contoh saja di Banyumas, Jawa Tengah seorang nenek mengambil 3 buah kakao yang bernilai Rp 2000 milik PT. Rumpun Sari Anta (RSA) yang mendapatkan hukuman pidana 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Sedang dalam kasus Panda Nababan yang berkedudukan selaku sekretaris fraksi PDIP yang di duga menerima uang suap Rp 1,5 miliar dalam kasus travel cek dalam pemilihan Deputi Gubernur senior Bank Indonesia pada tahun 2004 yang diungkap oleh jaksa penuntut umum komisi pemberantasan korupsi (KPK) hanya diberi hukuman selama 1 tahun 5 bulan. Menyedihkan sekali melihat para penegak hukum di Indonesia tidak berlaku adil terhadap semua kalangan masyarakat.

Walaupun kasus ini masih diduga adanya rekayasa, tetapi kita bisa melihat dengan menerima Rp 1,4 miliar para penegak hukum memberikan hukuman 1 tahun 5 bulan sangat tidak sebanding dengan kasus Nenek Minah yang hanya mengambil 3 buah biji kakao yang bernilai Rp 2000 yang kemudian mendapat hukuman selama 1 bulan 15 hari penjara.

Selain kasus-kasus yang terjadi pada kalangan atas dan kalangan bawah.  Hukum di Indonesia juga tercemar oleh para aparat hukum seperti jaksa dan hakimnya. Kasusnya adalah seorang jaksa tidak bisa membuktikan kesalahan seorang terdakwa di pengadilan, bahkan terakhir muncul satu kasus dimana jaksa gagal melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum yang baik setelah surat dakwaannya dinyatakan tidak dapat diterima. Adanya surat dakwaan yang tidak dapat diterima oleh majelis hakim, menunjukkan bahwa jaksa tersebut telah menjalankan tugasnya dengan tidak profesional dan bertanggung jawab. Ironisnya tidak diterimanya surat dakwaan tersebut disebabkan karena hampir sebagian besar tanda tangan di berita acara pemeriksaan (BAP) merupakan tanda tangan palsu.

Hakim sebagai orang yang dianggap sebagai ujung tombak untuk mewujudkan adanya keadilan, ternyata tidak luput juga dari cercaan masyarakat. Banyaknya putusan yang dianggap tidak adil oleh masyarakat. Banyaknya kekecewaan terhadap pengadilan (hakim) ini terkait dengan merebaknya isu mafia peradilan yang terjadi di tubuh lembaga berlambang pengayoman tersebut. Institusi yang seharusnya mengayomi hukum ini sempat menyeret nama pimpinan tertingginya sebagai salah satu mafia peradilan.  Sungguh ironis sekali kenyataan yang kita lihat sampai hari ini, yang semakin membuat bopeng wajah hukum Indonesia.
Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law).

SUMBER