Dari temanya sendiri yaitu pembenahan hukum ekonomi di Indonesia.  Bagaimana solusinya ?.  Untuk membenahi suatu hukum, butuh kerjasama dari semua pihak.  Terutama pemerintah, tapi di sisi lain  pengusaha/penjual dan konsumen pun turut serta dalam terciptanya hukum ekonomi di Indonesia. Solusi disini dapat diartikan dengan cara-cara bagaimana membenahi hukum di Indonesia itu sendiri.

            Latar belakang hukum ekonomi di Indonesia harus dibenahi, bisa kita lihat dari sejarah, contoh  tahun 1930-an,dunia mengalami masalah pengangguran,  tahun 1940 dunia mengalami masalah merealokasikan sumber daya yang langka dengan cepat antara kebutuhan perang dengan kebutuhan sipil. Tahun 1950 terjadi masalah inflasi, tahun 1960 terjadi kemunduran pertumbuhan ekonomi, tahun 1970 dan awal tahun 1980 terjadi kasus biaya energi yang meningkat, memasuki akhir tahun  2008 sampai dengan saat ini krisis finansial global yang dimulai di Amerika Serikat sejak 2007 yang dipicu macetnya kredit perumahan  (subprime mortgage) juga telah menimbulkan permasalahan yang mendunia.

            Dampak yang dirasakan Indonesia antara lain karena perekonomian dunia melemah sehingga pasar ekspor bagi produk Indonesia menjadi sangat menurun, nilai tukar rupiah terdepresiasi sehingga hutang luar negeri pemerintah maupun swasta menjadi beban yang cukup berat. Bagaimanakah caranya untuk membenahi semua ini???

            Padahal di Indonesia sudah terdapat hukum perekonomian.  Hukum ekonomi tertinggi terdapat dalam pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi :
(1)    Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan
(2)    Cabang–cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang  banyak dikuasai oleh Negara.
(3)    Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(4)    Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5)    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

            Pasal 33 ini sangat erat hubungannya dengan hukum ekonomi, tapi apakah kita benar-benar telah memahami makna pasal tersebut?.  Dari pasal 33 ayat 1, terdapat kata-kata ‘asas kekeluargaan’.  “Asas kekeluargaan” adalah istilah Indonesia yang sengaja diciptakan untuk memberi arti brotherhood, seperti halnya persatuan Indonesia” adalah istilah Indonesia untuk nasionalisme, dan “kerakyatan” adalah istilah Indonesia untuk demokrasi. Memang yang bisa memahami asas kekeluargaan adalah mereka yang bisa memahami cita-cita perjuangan dalam konteks budaya Indonesia, yang mampu merasakan sesamanya sebagai saudara. Jadi asas kekeluargaan  yang brotherhood ini bukanlah asas keluarga atau asas kekerabatan yang nepotistik. Kebersamaan dan kekeluargaan adalah asas ekonomi kolektif (cooperativism) yang dianut Indonesia.

                        Pasal 33 ayat 1 itu telah menjelaskan makna asas kekeluargaan.  Bisa kita artikan pula, kekeluargaan menjadi sebuah kerjasama antara pemerintah, pengusaha, konsumen atau dapat dikatakan semua warga Indonesia menjalankan hukum ekonomi itu sebgai sebuah keluarga.  Memiliki rasa kerjasama satu sama lain dan berbagi bukan egois.  Egois disini diartikan hanya ingin dia yang baik saja.  Baik dalam hal kesejahteraan sosial atau lain-lain.  Jadi pemerintah yang mengurusi hal ini harus memiliki sifat yang jujur dan memang ikhlas dalam menjalankan pekerjaannnya.  

            Selain moral dari setiap individu untuk berbuat jujur, pemerintah juga harus mempunyai upaya-upaya agar setidaknya perekonomian di Indonesia membaik.  Bagaimanakah caranya?  Pasal 33 ayat 1 menerangkan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.  Usaha disini yaitu koperasi.  Pemerintah harus mengambil peranan yang besar agar memajukan koperasi di Indonesia.  Koperasi adalah unit usaha yang berdasarkan kekeluargaan yang erat.  Setidaknya setiap anggota dapat terbantu dan juga setiap anggota mempunyai kemampuan untuk mengolah suatu usaha.  Selain itu, pemerintah juga memberikan pelatihan bagi masyarakat mengenai wirausaha atau pelatihan-pelatihan tentang koperasi.  Pemerintah juga memberikan keringanan atau bunga kecil bagi seorang yang ingin membuka usaha.  Peraturan-peraturan untuk pemberian kreditpun dimudahkan. 

            Dengan kata lain pemerintah turut mendukung koperasi dan ukm-ukm kecil.  Bila kita ingin memebenahi sesuatu, mulailah dari hal-hal kecil terlebih dahulu.  Tahap demi tahap harus dilalui.  Tak lupa, BUMN juga turut andil.  Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan trilogi pembangunan.  Semuanya semata-mata diwujudkan untuk kesejahteraan rakyat.
 
            Dari semua ini, dapat disimpulkan pembenahan hukum ekonomi di Indonesia ini merupakan suatu “PR” bersama, bukan hanya pemerintah saja, tapi semua rakyat Indonesia turut andil dalam hal ini.  Pemerintah mengurusi dan memberikan upaya-upaya yang baik bagi warga dan warga Indonesia mematuhuinya.  Pemerintah juga harus melaksanakan tugasnya dengan benar dan baik, karena pemerintah bekerja bukan hanya untuk mendapatkan gaji semata, dilain pihak pemerintah juga bekerja demi warga dan negaranya agar Negara kita menjadi lebih baik lagi. Amin.

SUMBER
http://radityowisnu.blogspot.com/2011/01/pancasila-dan-pasal-33-uud-1945.html
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/09/pasal-33-uud-45-ekonomi-koperasi/
http://www.bappenas.go.id/blog/?p=97


            Sudah dijabarkan dalam tulisan sebelumnya yang berjudul Benahi Perlindungan Konsumen, bahwasanya hak-hak konsumen di Negara kita tercinta ini belum sepenuhnya ditegakkan.  Saya katakan belum sepenuhnya, karena mungkin beberapa konsumen ada yang telah merasa hak-haknya sebagai konsumen telah terpenuhi.  Tetapi perbandingan orang-orang yang telah terpenuhi haknya sebagai konsumen sangat jauh berbeda dengan orang-orang yang merasa bahwa haknya belum terpenuhi.
            Jangan kita melihat terlalu jauh persoalan ini ke titik yang berat, kita lihat saja di lingkungan sekitar kita bahkan mungkin dimulai dari diri kita sendiri.  Ambil contoh dari salah satu hak konsumen yaitu “hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”.  Di tulisan sebelumnya ada contoh tentang pelayanan rumah sakit yaitu adanya diskriminatif tentang masalah keuangan.  Ada lagi contoh yang mungkin sering ditemukan di sekitar yaitu misal si A adalah seorang anak yang mungkin belum terlalu mengerti ketika ingin membeli barang elektronik.  Kita umpamakan si A adalah anak perempuan berusia 16 tahun.  Lalu ketika dia ingin membeli sebuah elektronik, kita umpamakan I-Pod.  Nah ketika anak itu ingin membeli dan sebelumnya bertanya ke penjual.  Si penjual seringkali tidak memberikan informasi sepenuhnya.  Mereka lebih menekankan kebaikan dari barang tersebut.  Alhasil anak yang masih polos itu membeli dan biasanya si penjual juga memberikan harga di atas harga pasaran.
            Nah kejadian tersebut banyak kita jumpai di sekitar.  Konsumen yang seharusnya mempunyai “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.  Tetapi penjual tidak menegakkan undang-undang yang sudah berlaku.  Dalam hal ini, mungkin penjual juga tidak mengetahui informasi tentang undang-undang yang sudah di berlakukan di Negara kita ini atau mungkin saja tahu tapi pura-pura tidak tahu.  Tapi yang jelas, itu hanya sebagian penjual, tidak semuanya.  Dalam kenyataannya, masih banyak kok penjual-penjual yang jujur, meski itu menjadi suatu kelompok minoritas di Negara ini.
           
            Banyak keterkaitan dalam hal ini tentang masalah moral.  Agar semua permasalahan di Negara ini ingin menjadi lebih baik.  Dasarnya adalah perbaikan moral dari setiap individu.  Tidak hanya dalam masalah penjual yang tidak jujur.  Di Negara ini, ketidak jujuran dapat kita sorot dalam hal korupsi.  Wakil-wakil rakyat yang seharusnya mewakili suara-suara rakyat dalam masalah-masalah Negara tapi mereka malah membuat masalah di Negara kita menjadi besar.  Uang rakyat dipakai untuk senang-senang dan lain sebagainya.  Dimanakah hati nurani mereka?  Apa sebenarnya tujuan mereka masuk dalam kepemerintahan?.  Apakah hanya untuk suatu kebanggaan di tengah lingkungannya? 
            Kembali ke topik sebelumnya menegenai penegakkan konsumen, apakah sudah ditegakkan?  Sekiranya saya sudah menuliskan contoh, mungkin, Anda bisa menjawabnya sendiri!?.  Tadi kita telah membahas dari sisi penjual, apakah sebenarnya mereka mengetahui undang-undang yang ada atau tidaknya / tahu tapi berpura-pura tidak tahu.  Sekarang kita membahas dari sisi konsumen.  Dalam kenyataannya konsumen itu lemah dalam hal informasi.  Mereka juga pada umumnya lemah atau setidaknya mempunyai keterbatasan dalam mengakses sumber-sumber daya ekonomi guna menopang kehidupan. Kekuatan modal dan pasar telah melemahkan kedudukan konsumen, bahkan untuk melindungi dirinya sendiri. Dengan kata lain, konsumen memang membutuhkan perlindungan dalam arti yang sesungguhnya. Lebih daripada itu, konsumen membutuhkan penguatan dan pemberdayaan untuk dapat (sedikit) meningkatkan daya tawar mereka di hadapan pelaku usaha.
            Tujuan penegakkan undang-undang dalam perlindungan konsumen dimaksudkan untuk melindungi konsumen.  Tetapi melihat dari kenyataan yang ada, tujuan tersebut menurut saya belum tercapai. Masih ada makanan-makanan yang kadaluarsa dijual di pasaran.  Bukankah hal itu bisa mencelakakan nyawa manusia.  Iklan-iklan kartu seluler yang banyak berkata ada bonuslah atau apalah, tapi kenyataannya itu hanya kebohongan belaka.  Misal mau komplainpun, konsumen terkadang tidak tahu mesti kemana dan berbuat apa. Bisa saja penjual mengatakan bahwa ada kata-kata untuk membenarkan mereka.  Memang iya ada, tapi biasanya kata-kata tersebut ditulis sangat kecil, jadi ketika ada iklan tersebut, kita hanya terpusat pada kata-kata yang tulisan dapat kita baca atau hurufnya besar-besar.  Atau mungkin mengelak hanya kerugian berapa ribu tapi itu bukan hanya satu dua orang yang tertipu.  Kalau diakumulasikan pastinya banyak dan penjual merauk untung dari tipuan-tipuan iklan tersebut.
            Salah satu hak konsumen juga yang menurut saya seperti benar-benar tidak ditegakkan bahkan seolah-olah hak ini seperti tidak ada, yaitu “hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen”.  Sangat disayangklan sekali hal ini ada dalam undang-undang tapi sepertinya tidak dijalankan sama sekali.  Dalam hal ini, pemerintah juga harus tegas dalam menegakkan undang-undang.  Butuh kerjasama dari semuanya, baik pemerintah, pengusaha/penjual, dan konsumen.  Agar hal ini bisa disinergikan menjadi terwujudnya undang-undang yang berlaku.
            Sosialisasi dari pemerintah, pengusaha dan konsumen yang menegetahui undang-undang tersebut dan setelah mengetahuinya, hal itu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.  Bila hanya salah atu saja yang mematuhinya, hal ini tidak akan berjalan.  Bukankah ketika apapun dilakukan bekerjasama akan menjadi baik.  Nah darisini, mulailah dari diri sendiri dulu.  SEMANGAT :D

SUMBER

http://lembagakonsumen.org/2010/10/kebijakan-perlindungan-konsumen-%20%20%20%20%20di-diy/



            Sudah dijabarkan dalam tulisan sebelumnya yang berjudul Benahi Perlindungan Konsumen, bahwasanya hak-hak konsumen di Negara kita tercinta ini belum sepenuhnya ditegakkan.  Saya katakan belum sepenuhnya, karena mungkin beberapa konsumen ada yang telah merasa hak-haknya sebagai konsumen telah terpenuhi.  Tetapi perbandingan orang-orang yang telah terpenuhi haknya sebagai konsumen sangat jauh berbeda dengan orang-orang yang merasa bahwa haknya belum terpenuhi.
            Jangan kita melihat terlalu jauh persoalan ini ke titik yang berat, kita lihat saja di lingkungan sekitar kita bahkan mungkin dimulai dari diri kita sendiri.  Ambil contoh dari salah satu hak konsumen yaitu “hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”.  Di tulisan sebelumnya ada contoh tentang pelayanan rumah sakit yaitu adanya diskriminatif tentang masalah keuangan.  Ada lagi contoh yang mungkin sering ditemukan di sekitar yaitu misal si A adalah seorang anak yang mungkin belum terlalu mengerti ketika ingin membeli barang elektronik.  Kita umpamakan si A adalah anak perempuan berusia 16 tahun.  Lalu ketika dia ingin membeli sebuah elektronik, kita umpamakan I-Pod.  Nah ketika anak itu ingin membeli dan sebelumnya bertanya ke penjual.  Si penjual seringkali tidak memberikan informasi sepenuhnya.  Mereka lebih menekankan kebaikan dari barang tersebut.  Alhasil anak yang masih polos itu membeli dan biasanya si penjual juga memberikan harga di atas harga pasaran.
            Nah kejadian tersebut banyak kita jumpai di sekitar.  Konsumen yang seharusnya mempunyai “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.  Tetapi penjual tidak menegakkan undang-undang yang sudah berlaku.  Dalam hal ini, mungkin penjual juga tidak mengetahui informasi tentang undang-undang yang sudah di berlakukan di Negara kita ini atau mungkin saja tahu tapi pura-pura tidak tahu.  Tapi yang jelas, itu hanya sebagian penjual, tidak semuanya.  Dalam kenyataannya, masih banyak kok penjual-penjual yang jujur, meski itu menjadi suatu kelompok minoritas di Negara ini.
           
            Banyak keterkaitan dalam hal ini tentang masalah moral.  Agar semua permasalahan di Negara ini ingin menjadi lebih baik.  Dasarnya adalah perbaikan moral dari setiap individu.  Tidak hanya dalam masalah penjual yang tidak jujur.  Di Negara ini, ketidak jujuran dapat kita sorot dalam hal korupsi.  Wakil-wakil rakyat yang seharusnya mewakili suara-suara rakyat dalam masalah-masalah Negara tapi mereka malah membuat masalah di Negara kita menjadi besar.  Uang rakyat dipakai untuk senang-senang dan lain sebagainya.  Dimanakah hati nurani mereka?  Apa sebenarnya tujuan mereka masuk dalam kepemerintahan?.  Apakah hanya untuk suatu kebanggaan di tengah lingkungannya? 
            Kembali ke topik sebelumnya menegenai penegakkan konsumen, apakah sudah ditegakkan?  Sekiranya saya sudah menuliskan contoh, mungkin, Anda bisa menjawabnya sendiri!?.  Tadi kita telah membahas dari sisi penjual, apakah sebenarnya mereka mengetahui undang-undang yang ada atau tidaknya / tahu tapi berpura-pura tidak tahu.  Sekarang kita membahas dari sisi konsumen.  Dalam kenyataannya konsumen itu lemah dalam hal informasi.  Mereka juga pada umumnya lemah atau setidaknya mempunyai keterbatasan dalam mengakses sumber-sumber daya ekonomi guna menopang kehidupan. Kekuatan modal dan pasar telah melemahkan kedudukan konsumen, bahkan untuk melindungi dirinya sendiri. Dengan kata lain, konsumen memang membutuhkan perlindungan dalam arti yang sesungguhnya. Lebih daripada itu, konsumen membutuhkan penguatan dan pemberdayaan untuk dapat (sedikit) meningkatkan daya tawar mereka di hadapan pelaku usaha.
            Tujuan penegakkan undang-undang dalam perlindungan konsumen dimaksudkan untuk melindungi konsumen.  Tetapi melihat dari kenyataan yang ada, tujuan tersebut menurut saya belum tercapai. Masih ada makanan-makanan yang kadaluarsa dijual di pasaran.  Bukankah hal itu bisa mencelakakan nyawa manusia.  Iklan-iklan kartu seluler yang banyak berkata ada bonuslah atau apalah, tapi kenyataannya itu hanya kebohongan belaka.  Misal mau komplainpun, konsumen terkadang tidak tahu mesti kemana dan berbuat apa. Bisa saja penjual mengatakan bahwa ada kata-kata untuk membenarkan mereka.  Memang iya ada, tapi biasanya kata-kata tersebut ditulis sangat kecil, jadi ketika ada iklan tersebut, kita hanya terpusat pada kata-kata yang tulisan dapat kita baca atau hurufnya besar-besar.  Atau mungkin mengelak hanya kerugian berapa ribu tapi itu bukan hanya satu dua orang yang tertipu.  Kalau diakumulasikan pastinya banyak dan penjual merauk untung dari tipuan-tipuan iklan tersebut.
            Salah satu hak konsumen juga yang menurut saya seperti benar-benar tidak ditegakkan bahkan seolah-olah hak ini seperti tidak ada, yaitu “hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen”.  Sangat disayangklan sekali hal ini ada dalam undang-undang tapi sepertinya tidak dijalankan sama sekali.  Dalam hal ini, pemerintah juga harus tegas dalam menegakkan undang-undang.  Butuh kerjasama dari semuanya, baik pemerintah, pengusaha/penjual, dan konsumen.  Agar hal ini bisa disinergikan menjadi terwujudnya undang-undang yang berlaku.
            Sosialisasi dari pemerintah, pengusaha dan konsumen yang menegetahui undang-undang tersebut dan setelah mengetahuinya, hal itu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.  Bila hanya salah atu saja yang mematuhinya, hal ini tidak akan berjalan.  Bukankah ketika apapun dilakukan bekerjasama akan menjadi baik.  Nah darisini, mulailah dari diri sendiri dulu.  SEMANGAT :D

SUMBER

http://lembagakonsumen.org/2010/10/kebijakan-perlindungan-konsumen-%20%20%20%20%20di-diy/